Ketika Rasulullah SAW ditanya tentang amalan apakah yang paling disukai oleh
Allah SWT, Beliau menjawab: “Sholat pada waktunya.” Kemudian
apa lagi yaa Rasulullah?, Beliau menjawab: “Birrul walidain.”
Kemudian apalagi yaa Rasulullah?, Beliau menjawab: “Jihad
fisabilillah.”
Kalau kita mau memperhatikan hadits ini dengan cermat, maka kita dapat
mengambil kesimpulan bahwa amalan yang paling disukai oleh Allah yang pertama
adalah sholat pada waktunya, kemudian berbuat baik kepada kedua orangtua, baru
kemudian yang terakhir adalah jihad fisabilillah.
Jihad fisabilillah:
Al Yafi’i pernah bercerita dari Syech Abdul Wahid
bin Zaid. Pada suatu hari kami duduk di majlis kami sebagaimana biasanya, kami
telah bersiap untuk pergi berperang. Sungguh aku telah memberikan perintah
kepada sahabat-sahabat untuk mendengarkan suatu ayat yang akan dibacakan di
muka mereka. Ada
seorang lelaki yang membacakan ayat di majlis kami. “Sesungguhnya Allah telah
membeli orang-orang mu’min diri dan harta benda mereka, sebab sesungguhnya
mereka akan memeroleh surga.”
Lantas ada seorang anak yang masih berusia
limabelas tahun atau sederajatnya berdiri, padahal ayahnya sudah meninggal
dunia, namun ditinggali harta benda yang banyak, lalu berkata: “Wahai Abdul
Wahid bin Zaid, sesungguhnya Allah telah membeli diri dan harta benda orang-orang
mu’min, sebab sesungguhnya mereka akan memeroleh surga?” Aku berkata: “Ya wahai
anakku yang tercinta.” Dia berkata kepadaku: “Aku telah menyaksikan kepadamu
bahwa aku telah menjual diriku dan harta bendaku kepada Allah agar aku
memeroleh surga.” Aku (Abdul Wahid) berkata: “Sesungguhnya tikaman pedang yang
tajam lebih berat daripada itu, sedang kulihat kamu masih kecil. Sesungguhnya
aku khawatir bila kamu nanti tidak sabar dan kamu tidak mampu menghadapi resiko
peperangan.” Dia berkata: “ Wahai Abdul Wahid, aku sudah baiat kepada Allah
agar aku mendapatkan surgaNya lantas aku tidak mampu? Aku menyaksikan kepada
Allah baiatku ini.”
Abdul Wahid berkata: “Sesungguhnya kami merasa
terkalahkan dengan keimanan yang dimiliki oleh anak semacam ini, lantas kami
berkata di dalam hati: “Seorang anak berakal sedang kami masih kurang berakal.”
Anak tersebut keluar dengan membawa seluruh harta bendanya untuk disumbangkan
dalam perjuangan kecuali kuda, senjata dan bekalnya belaka.
Ketika hari yang dijanjikan untuk berangkat perang
telah tiba, maka anak itu permulaan orang yang tampak pada kami, lalu berkata:
“Assalamu alaikum wahai Abdul Wahid,” lalu aku menjawab salamnya dan kukatakan:
“Sungguh akad jual belimu telah beruntung banyak.” Kemudian kami berjalan menuju
medan tempur,
sungguhpun demikian ternyata anak itu berpuasa di waktu siang dan malampun
melakukan shalat. Dengan hati yang gembira dia melayani kami, memelihara
binatang kami dan menjaga kami bila kami tertidur. Lantas sampailah perjalanan
kami ke tanah Romawi.
Ketika kami sudah sampai di tanah Romawi, lantas
pemuda itu menghadap kepada kami seraya berkata: “Sungguh rinduku telah lama
mencekam kepada Al Aina Al Mardhiyah.” Lantas beberapa temanku berkata:
“Barangkali pemuda itu tergoda oleh setan atau kemasukan jin atau mungkin
akalnya sudah tidak sadar lagi.” Aku berkata: “Wahai anakku yang tercinta,
apakah maksud Al Aina Al Mardhiyah itu?” Dia menjawab: Sesungguhnya aku pernah
tidak sadar, lantas aku melihat seolah-olah ada orang datang kepadaku, lalu berkata
kepadaku: “Pergilah kamu untuk menjumpai Al Aina Al Mardhiyah, lantas aku
diajak berkunjung ke pertamanan yang terdapat sungai yang airnya tidak berubah.
Kulihat di tepi sungai itu ada beberapa perempuan yang mengenakan pakaian dan
perhiasan yang menarik, sungguh aku sulit melukiskan kecantikan dan daya tarik
perhiasan dan pakaiannya.
Ketika mereka melihat aku, langsung mereka berkata:
“Ini suami Al Aina Al Mardhiyah, lalu aku berkata: “assalamu alaikum, apakah
ada di kalangan kamu Al Ana Al Mardhiyah?” Lalu mereka menjawab: “Kami hanya
sebagai pelayannya, oleh karena itu berjalanlah terus kesana.”
Akupun berjalan menelusuri lorong-lorong di mukaku,
lalu aku berjumpa dengan sungai dari susu yang putih bersih, rasanya pun tidak
berubah. Di sana
terdapat pertamanan yang penuh dengan dekorasi yang memikat hati dan beberapa
wanita yang cantik. Ketika aku melihat mereka, akupun tertarik lantaran
kecantikannya sulit kulukiskan. Ketika mereka melihat kepadaku, langsung mereka
menyambutku dengan hati yang gembira, mereka berkata: “ Inilah suami Al Aina Al
Mardhiyah.” Aku mengucapkan salam kepada mereka dan bertanya: Apakah diantara
kamu ada Al Aina Al Mardhiyah?” Mereka menjawab salamku, dan memanggilku
dengan kata wahai waliyullah, kami hanya sebagai pembantunya, oleh karena itu
berjalanlah terus ke depan. Lantas akupun berjalan ke depan, tahu-tahu aku
berjumpa dengan sungai dari khomer dan di tepinya ada beberapa wanita yang
menarik.
Dengan daya pikat masing-masing wanita itu,
akupun lupa terhadap wanita yang sebelumnya. Akupun mengucapkan salam untk
mereka, aku bertanya: “Apakah di kalangan anda ini ada Al Aina Al Mardhiyah?”
Merakapun menjawab: “Tidak, kami hanya sebagai pembantunya. Oleh karena itu
berjalanlah terus.” Lalu akupun bertemu dengan sungai dari madu yang
jernih, di tepinya terdapat gadis yang cantik jelita membuat aku lupa terhadap
gadis sebelumnya, rupanya cahaya dan kemolekan mereka yang lebih memikat
hatiku. Lalu akupun mengucapkan salam kepada mereka, aku bertanya: “Apakah di
antara kalian ada Al Aina Al Mardhiyah?” Lalu mereka berkata: “Wahai
waliyullah, kami sekedar pelayannya. Oleh karena itu berjalanlah terus
kedepan.” Akupun berjalan kedepan, lalu aku berjumpa dengan tenda dari mutiara
yang putih bersih, di depan pintunya ada gadis yang mengenakan perhiasan dan
pakaian yang sulit dilukiskan keindahannya. Ketika itu dia melihat aku, lalu
menyambutku dengan penuh kegembiaraan, lalu memanggil: “Wahai Al Aina Al
Mardhiyah, inlah suamimu telah datang.”
Pemuda itu berkata: “Lantas aku masuk ke tenda,
tahu-tahu dia lagi duduk di atas ranjang dari emas, berhias dengan mutiara dan
yaqut. Ketika aku melihatnya, akupun tertarik. Dia berkata: “Selamat datang
wahai wali Allah, sungguh engkau akan datang kepada kami sebentar lagi. Lalu
akupun ingin merangkulnya, lantas dia menjawab: “Tenang saja, kamu masih belum
diperbolehkan merangkulku, sebab engkau masih hidup di dunia, kamu akan berbuka
pada kami malam ini.”
Pemuda itu berkata: “Lalu aku bangun, wahai Abdul
Wahid sungguh aku tidak tahan lagi hidup di dunia, aku ingin berjumpa dengan Al
Aina Al Mardhiyah.”
Abdul Wahid berkata: “Pemuda itu masih belum
memutuskan pembicaraanya, lantas ada pasukan musuh yang menyerang kami.
Ternyata pemuda itu tak tahan lagi untuk tinggal diam, lalu dia menyerang ke
tengah musuh dan bisa membunuh sembilan orang di antara mereka, dan dia sendiri
termasuk korban yang kesepuluh.”
Aku (Abdul Wahid) berjalan-jalan bertemu dengan
tubuh pemuda itu yang lagi berlumuran darah segar, dia malah tetawa atas
penderitaannya, lalu meninggalah. Semoga Allah memberikan manfaat kepada kami
atas kisah pemuda itu.
Birrul Walidain:
Al Yafi’I pernah bercerita, sesungguhnya Allah yang
Maha Suci lagi Maha Tinggi memberikan wahyu kepada Nabi Sulaiman Bin Dawud AS
agar keluar ke tepi laut , di sana engkau akan melihat sesutau yang
mengagumkan.
Lantas Nabi Sulaiman AS bersama jin dan manusia
keluar, ketika sampai di tepi laut, dia menoleh ke kanan dan ke kiri, ternyata
tidak melihat sesuatu yang menarik perhatiannya, lantas Nabi Sulaiman berkata
kepada Ifrit: “Hendaklah kamu menyelam ke dasar lauit ini, dan nanti kembalilah
dengan membawa sesuatu yang kamu jumpai di dalamnya.” Si Ifrit pun menyelam dan
kembali sececah kemudian. Lalu Ifrit berkata: “Wahai Nabi Sulaiman, sesungguhnya
aku telah menyelam ke dalam dengan perjalanan yang amat jauh sekitar sekian………
Sungguhpun demikian aku masih belum sampai ke dasarnya dan aku juga tidak
melihat sesuatu yang menarik.”
Nabi Sulaiman memerintah kepada Ifrit yang lain:
“Berangkatlah kamu untuk meyelami laut ini dan nanti bawalah sesuatu yang kamu
jumpai, meskipun sekedar pengalaman yang telah kamu lihat.” Sececah kemudian,
Ifritpun kembali dan berkata sebagaimana apa yang dikatakan oleh Ifrit yang
pertama tadi, hanya saja Ifrit yang terakhir ini telah menyelam dua kali.
Lantas Nabi Sulaiman berkata kepada Ashif bin
Burkhiya, yaitu menteri Nabi Sulaiman yang telah disebut di dalam Al Qur’an
sebagai orang yang mengerti ilmu kitab. Akhirnya Nabi Sulaiman dibawakan sebuah
Kubbah dari kapur putih yang mempunyai empat pintu. Sebuah pintu terbuat dari
intan, sebuah pintu yang terbuat dari yaqut, sebuah pintu yang terbuat dari
mutiara, dan sebuah pintu yang terbuat dari Zabarzad yang hijau.
Seluruh pintu itu terbuka, namun setetes airpun
tidak ada yang masuk ke dalamnya, padahal kubbah itu berada di laut yang paling
dalam, sekitar perjalan Ifrit yang pertama tiga kali. Lantas kubah itu
diletakkan di depan Nabi Sulaiman, tahu-tahu di dalamnya ada seorang pemuda
yang berpakaian baik, bersih sedang menjalankan shalat. Nabi Sulaman masuk ke
dalamnya dan mengucapkan salam kepadanya, lalu berkata kepada pemuda itu:
“Apakah yang mebuatmu bisa bertempat tinggal di dasar laut ini?” Pemuda itu
menjawab: “Wahai Nabi Allah, sesungguhnya ayahku itu seorang yang lumpuh,
sedangkan ibuku tuna netra, aku berusaha untuk melayaninya selama tujuh puluh
tahun.”
Ketika ibuku akan meninggal dunia, dia berdo’a: “Ya
Allah berilah anakku usia yang panjang untuk datang kepadaMu.” Begitu juga
ketika ayahku akan meninggal dunia, dia berdo’a: “Ya Allah berilah anakku
kesempatan untuk beribadah kepadaMu di suatu tempat yang sekiranya tidak bisa
dilalui oleh setan.”
Lantas aku keluar ke tepi laut ini setelah aku
mengebumikan mayat ayah dan ibuku, lantas aku melihat kubbah ini di depanku.
Aku masuk ke dalamnya untuk melihat keindahan di dalamnya. Akhirnya ada
malaikat yang datang padaku dan membawanya bersamaku ke dalam laut ini. Lantas
Nabi Sulaiman bertanya: “ Kira-kira kapan kamu sampai ke tepi pantai ini?”
Pemuda itu menjawab: “Kira-kira pada jaman Nabi Ibrahim Al Kholil.”
Nabi Sulaiman mengingat tentang sejarah Nabi
Ibrahim yang bisa diperkirakan dua ribu empat ratus tahun yang silam.
Sungguhpun demikian, pemuda itu masih tetap muda tidak ada satupun uban di
rambut kepalanya.
Nabi Sulaiman bertanya: “Bagaimanakah makanan dan
minumanmu?” Pemuda itu menjawab: “Pada tiap hari ada seekor burung hijau yang
membawa sesuatu yang kuning di patuknya seperti kepala manusia, lalu aku
memakannya. Aku bisa merasakan segala kenikmatan di dnia. Dengan memakannya aku
tidak terasa laar dan haus, panas dingin dan tidurpun aku tidak ada kedinginan
lagi, aku tidak terasa susah, tidak jemu.”
Lantas Nabi Sulaiman berkata: “Apakah kamu senang
bersama kami?” Pemuda itu menjawab: “Kembalikan aku ke tempatku wahai Nabi
Allah.” Nabi Sulaiman berkata kepada Ashif: “Wahai Ashif kembalikan ke
tempatnya.” Nabi Sulaiman menoleh dan berkata: “Lihatlah, bagaimana Allah mengabulkan do’a kedua orang tua lelaki
ini. Oleh sebab itu, aku peringatkan kepadamu jangan sampai durhaka kepada
kedua orang tua.”
..................................................................
......Z@Bidintea
ADITYA RIZA PRADANA
BRAHUL DOT COM
ASSHIDDIQIYAH 06 SERPONG
Griya Suradita Indah
MALAM PUNCAK HUT RI KE-73 ( GSI RT 08 )
Murottal Al Quran Ali Abdur-Rahman al-Huthaify
aditya riza pradana
Gepeng Tea
Album Sings Legends 2016
LUCU DOT COM
Dangdut Sings Legends
Favorit